Rabu, 20 Februari 2008

Amal di Jalan (Norief Warisman)

Terdengar lantunan ayat suci Al-Quran di sepanjang jalan Banyuwangi - Surabaya, dan terus menerjang genderang telinga yang siap menerima apa saja yang menerpanya. Hati berdebar saat mendengar itu semua. Bulu berdiri tanpa ada yang memerintahnya. Ada apa gerangan?

Aku terus melanjutkan perjalananku yang masih tersisa 217 km jauhnya. Lelah memang terus melanda, tapi guyuran hujan membuat semua itu jadi sirna. Kelelahan mencair bersama setiap tetesan air hujan yang membasahi tubuh ini. Teruslah aku berkendara dengan sebuah kendaraan hasil ciptaan manusia. Sebuah hasil pemikiran yang merupakan bentuk pengembangan dari apa yang sudah ada. Maka perlu kita memberikan acungan beribu jempol kepada para pencipta kendaraan itu, sudahkah kita memberikan acungan jempol pada mereka?
Tak terasa guyuran hujan menemaniku sampai sejauh ini.

“Hei, Hujan. Apa kau tidak lelah menemaniku sampai sejauh ini?”

Apa yang aku rasa saat ini hanyalah kelelahan, tetapi hal ini tidak berarti apapun bagi sang hujan. Hebat sekali ya dia. Sungguh ciptaan-Mu yang sangat luar bisa estetikanya. Aku terus saja terpesona melihat kelokan sang hujan. Setiap tetesannya membawa sejuta atau bahkan trilyunan kehidupan dan tentunya juga hujan menciptakan sebuah kehidupan. Bagaimana jika tidak ada hujan? Pasti jawabannya, Huh!

Lantunan ayat suci Al-Quran masih tetap berkumandang bagaikan sang hujan yang tak pernah lelah. Maaf dalah hal ini siapa yang tak kenal lelah? Ayat sucinya ata pelantun ayat sucinya. Menurutku semuanya sama saja, hanya yang membedakan jenisnya. Ayat suci ialah benda mati yang dapat menghidupkan benda hidup, tetapi belum tentu pelantun yang merupakan benda hidup bisa menghidupkan benda mati. Tambah rumit ya pemikiran tentang mati dan hidup, lebih baik kita serahkan pada-Nya saja.

Sesekali dalam lantunan ayat suci Al-Quran tersebut terdengar sepercik, eh salah yang lebih benar setumpah, eitz, mana bisa kata-kata bisa tumpah, yang terpenting ini hanya pengandaian. Stop! Sesekali terdengar suara manusia yang sedang meminta sesuatu hal yang intinya meminta amal (kurang lebih begitu karena saya orang Jawa yang tidak paham sama sekali bahasa Madura, karena suara yang terdengar tadi bentuk pengujarannya dalam bahasa Madura).

Mereka berpakaian lengkap layaknya seperti orang yang ingin menunaikan apa yang diajarkan Islam. Tua-muda, laki-laki dan perempuan semua tampak di situ. Ngilu rasanya hati ini melihat dan mendengar itu semua. Semakin prihatin badan ini (badan Islam) terhadap hal itu. air hujan yang terus menemani tampaknya tak lagi bisa menghibur diri ini lagi seperti yang dilakukannya 115 km yang lalu. Apa yang terjadi pada agamaku, mengapa seperti ini. Bagaimana jika hal ini dilihat oleh agama lain. Apa yang akan mereka katakan. Akankah mereka mengatakan, Upz apa yang mereka lakukan, masak ingin bangun tempat beribadah sendiri harus minta orang lain, makanya kalau nggak punya dana nggak usah macam-macam. Apa mungkin perkataan seperti itu yang akan muncul dari benak setiap orang warga non-muslim yang lewat. Ya Allah apa yang terjadi pada umatmu.

Untaian luka telah menyelimuti tubuh ini, mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang tak lagi menentramkan hati dan tubuh ini tetapi keberadaannya malah menyiksa. Aduh, apakah saya dosa mengucapkan hal seperti ini, tetapi memang ini yang saya rasakan pada orang-orang yang melakukan hal itu. Sempat dalam benak saya terpikir apa mereka tidak mikir apa atas akibat perbuatan mereka.

Sekarang kita berikan sebuah penilaian atas peristiwa seperti itu. Kita memang tidak asing dengan kejadian yang telah saya uraikan di atas. Banyak sekali di Jawa Timur (mungkin di wilayah lain juga ada) hal-hal seperti ini terlihat. Mereka (oknum pengadaan amal liar) merasa bangga atau merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Merasa bangga karena, mereka dapat terlihat khalayak umum, maksudnya kerja mereka akan terlihat umum dan apa yang mereka kerjakan (umumnya pembangunan tempat beribadah) dapat dilihat banyak orang, secara otomatis semakin meningkat pula eksistensi wilayah tersebut. Merasa bersalah karena kegiatan seperti itu akan membawa sebuah dampak yang sabgat fatal bagi Islam sendiri yaitu, kegiatan tersebut sama saja dengan merendahkan agamanya sendiri bukan malah mempertinggi derajat agamanya. Memang kita ketahui bahwa agama di dunia ini sama, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah (hakikat agama sebenarnya) tetapi rendah-tingginya derajat sebuah agama tercipta karena manusia yang menjadi penganutnya yang membuat ada. Jadi menurut pemikiran saya sebagai makhluk Allah yang melihat dari sisi rendah tingginya sebuah derajat agama, kegiatan seperti ini bukan mempertinggi derajat agama islam, tetapi merendahkan agama islam. Oknum-oknum tersebut dengan lantang dan tanpa dosa (karena dosa tidak terlihat dari raut muka) meminta sumbangan kepada setiap pengendara yang melewati daerah amal tersebut.

Mengapa mereka tidak memandang ke depan? Menurut saya lagi mereka hanya mengutamakan gengsi, di mana mereka beranggapan bahwa desa atau daerah yang bagus akan terlihat dari bentuk tempat beribadah yng indah dan banyak. Kata banyak memang sangat unik sekali, tetapi memang itu yang terjadi sekarang ini. Sebagai contoh, pernah saya melintas di kota X, secara tidak sadar saya tiba-tiba mengantuk dan hampir menabrak seorang tukang becak yang sedang mengatuh becaknya dengan santai. Akhirnya saya putuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah masjid. Setelah selesai shalat dan beristirahat saya kembali melanjutkan perjalanan. Tidak sampai 100 m saya kembali melihat masjid yang sangat indah, kemudia perjalanan sampai sekitar 350 m terdapat sebuah mushola yang juga indah. Dalam perjalanan tersebut saya terus berpikir, sebenarnya pa yang mereka inginkan dari ini semua, gengsi, ketekunan beribadah, atau kemudahan beribadah? Intinya buat apa ada banyak tempat beribadah kalau tidak ada yang menggunakannya sebagai media berkomunikasi dengan Allah SWT.

Bagaimana dengan Anda, merasa prihatinkah Anda terhadap hal-hal seperti itu? apa yang akan Anda lakukan bila melihat hal seperti itu? itu semua bergantung bagaimana cara Anda menyikapi hal tersebut. Yang perlu diingat ialah, jika anda seorang yang beragama gunakanlah cara yang berguna dan bermanfaat yang nantinya menegakkan tiang agama itu. Jika pemikiran Anda tidak sesuai dengan pemikiran ini, lihat dulu dari sudut mana pemikiran Anda tercipta? Dan ketahuilah otak manusia diciptakan tidak hanya satu tetapi tak terhingga banyaknya.

Nukilan Pertemuan (Nuribi Haryanto)>>Cerpen

NUKILAN PERTEMUAN

Bukan menjadi cita-cita yang mafhum apabila zaman itu ia lebih memilih menjadi guru. Terlebih di Kuncangan, sebuah desa terpencil dengan pegunungan melingkar. Guru lebih menjadi sebuah amanah, bukan pekerjaan yang menyedot rupiah atau ringgit berlimpah. Sepenuh hidupnya telah diabdikan pada desa yang tertinggal itu. Mulai zaman komunis di mana sungai menjadi amis karena darah pembantaian sampai zaman reformasi di mana tangis masih deras mengalir.

Seperti karang ia, walau diterjang beragam ombak kemiskinan, ketiadaan, dan keterbelakangan ia tetap bertahan. Pak Somad, begitu ia memangku nama tersebut sejak lahir. Terlahir di pengungsian, dan waktu itu ia tak tahu pada siapa memanggil bapak. “Waktu itu bapak sedang perang” katanya sambil memandang lepas hamparan sawah.

“Aku yakin, minggu depan anak-anak akan meliburkan diri. Entah sampai berapa lama.” lanjutnya begitu melihat buliran padi yang mulai menguning. Diceritakan olehnya bahwa desa ini akan semakin tertinggal apabila pendidikan terus dikesampingkan. Seperti biasa, sawah Kuncangan akan ramai bila panen tiba. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orangtua bersama-sama memanen padi. Tradisi itu membuat anak-anak seakan lupa pada pendidikan dan masa depannya.

Kecut juga ia ketika sebulan lalu melepas muridnya untuk merantau ke Malaysia. Kerja dan uang telah menjadi tradisi di desa ini. Bila telah tamat SMP, remajanya akan jauh merantau. Tak banyak yang meneruskan ke SMA. Tiga atau lima tahun kemudian ia akan pulang membawa hasil kerjanya. Membangun rumah, menikah, mengasuh anak, memanen padi telah menjadi rantai kehidupan yang tiada terhenti.

“Apakah itu yang dinamakan hidup?” gerutunya sambil mengarahkan pandangannya kepadaku.

“Jangan salahkan mereka. Malaysia memang ladang uang. Begitu juga uang bisa membuat orang senang” kataku membalas pertanyaannya.

“Tapi Malaysia menjadikan kita kuli. Begitu pula uang menjadikan kita budak. Dan pendidikan kita kian terbelakang, kebodohan kita kian berkembang”.

“Tapi… walau Malaysia lebih pandai, lalu apakah bisa licik mencuri budaya bangsa kita. Apakah itu pula yang dinamakan manusia berpendidikan?”

Pagi itu perdebatanku dengan Pak Somad akhirnya terhenti oleh makan pagi yang telah tersaji. Aku bukanlah orang seperti yang biasa dihadapinya, para petani utun, gembala domba, atau anak-anak yang kadang waktu sekolahpun tak lengkap berbusana. Tapi kedatanganku malah membuatnya senang. Selama ini ia butuh orang yang diajak bertukar pikiran, tidak melulu bicara tentang Kuncangan dan tradisinya. Ia butuh perkembangan luar, karena Kuncaangan sedikit mengabarinya tentang dunia. Aku juga kian salut pada dirinya. Keteguhannya untuk bertahan di desa seperti ini menyiratkan sebuah pesan bahwa ia masih begitu bangga dan cinta pada tanah yang ia pijak. Padahal berita di media banyak yang memposisikan bahwa Indonesia jauh tertinggal dari bangsa lainnya.

“Kau tadi bilang kalau Malaysia licik, apa maksudnya?” tanyanya seakan penasaran pada perkataanku tadi.

“Di media telah beredar berita bahwa Malaysia mematenkan banyak budaya kita. Reog, lagu, angklung, sampai rendang telah diakui sebagai budaya Malaysia” kataku menjelaskan.

“Benar-benar edan” gerutunya sembari menghentikan makannya. Seperti terpukul ia sebagai pendidik yang gagal membawa negeri ini lebih baik. Ia paham bahwa kasus tersebut lebih pada anggapan bangsa lain bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah. Akan kalah bila berdebat secara terbuka. Selama ini bangsa kita hanya diajarkan saling menggerutu di belakang meja, ngrasani bila tak ada orangnya, dan akan lari bila bertemu muka.

Pak Somad lalu menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah surat bertuliskan huruf gedrik yang rapi sekali. Lalu disuruhnya aku membaca surat itu. Kubaca surat dari muridnya yang lama tak pulang dari merantau dari Malaysia. Sujatmiko, begitu muridnya menuliskan di surat itu yang terkesan sekali akan pengabdian Pak Somad dan sebenarnya ingin segera kembali ke Kuncangan. Tapi Sujatmiko tak bisa langsung kembali, karena ringgit yang diperoleh masih sedikit. Pekerjaannya sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit sungguh tak sepadan dengan pekerjaan yang ia lakukan. Pekerjaan itu pula yang memaksanya untuk tidak pulang karena takut dikatakan orang gagal.

Tiap hari ia harus bekerja mengurusi kebun yang luas. Makan hanya seadanya, tidur di gubuk tengah kebun. Bila pergi ke keramaian kota, ia selalu was-was akan razia dari polisi yang membabi buta. Pernah uang yang hendak dikirimkan ke Kuncangan diambil polisi. Diolok-olok dan dipandang rendah ialah hal biasa. Kadang ia harus mendekam beberapa hari di penjara karena urusan keimigrasian sebelum dijemput oleh majikannya. Di akhir surat, Sujatmiko mengatakan bahwa hidup di negeri sendiri lebih indah daripada bergelimangan harta di negeri orang, apalagi hidup Sujatmiko yang tak seindah dengan apa yang dibayangkan.

“Banyak pula orang yang tidak sukses merantau. Lalu mengapa masih banyak yang bercita-cita merantau? Apa Kuncangan tak mampu lagi menutupi kebutuhan hidup penduduknya?” tanyaku setelah membaca surat itu.

“Itu karena kebodohan. Kuncangan telah menyediakan tanah yang subur, air yang mengalir jernih, dan udara yang sehat. Bangsa kita sungguh beruntung memiliki semuanya” jawabnya sembari menyimpan kembali surat itu ke tempat semula.

Makin telak kegagalannya dalam mendidik desa ini. Sebagai orang yang dianggap pandai di desa, Pak Somad belum mampu menyadarkan penduduk untuk memanfaatkan segala yang diberikan Tuhan untuk bangsa ini. Kemudian ia berusaha mengalihkan cerita pada kebiasaan penduduk yang biasa menyisihkan hasil panen untuk dirinya. Terharu ia akan kepedulian dan perhatian warga yang akhirnya membuat dia terus bertahan di tempat ini.

“Sebentar lagi Bapak akan pensiun kan? Ingin tetap disini atau pindah?” tanyaku sebelum berpamitan.

“Bagiku tanah ini begitu indah untuk terus kupijak.” jawabnya.

Aku memutuskan untuk pamit dari pertemuanku kali ini. Pak Somad tetaplah seorang paman yang membuatku bangga. Paman yang lebih kuanggap sahabat untuk saling berdebat, lalu saling sesenggukan saat perpisahan. Aku bangga, Indonesia masih saja melahirkan orang jujur dan sederhana sepertinya. Begitu pula Yang Maha Kuasa masih saja melimpahkan alamnya yang elok nan subur pada bangsa ini. Cerita ini akan semakin menguatkan keinginanku menjadi seorang guru, yang bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik.

Bis yang membawaku pulang juga telah datang. Kulambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Pak Somad dan istrinya yang mengantarku sampai ke terminal. Di perjalanan kulihat segerombolan mahasiswa berdemo di sepanjang jalan kota. Dibentangkannya bermacam spanduk.

GANYANG MALAYSIA

KITA BUKAN LAGI SAUDARA,CIK…

Bis yang kutumpangi terus saja berjalan tanpa menghiraukan kejadian itu. Kejadian yang teramat penting untuk direnungkan. Sampai pada suatu tempat di mana kerumunan semakin besar hingga membuat kendaraan tak bisa melaju. Kendaraan menumpuk dan jalanan seakan tak mampu membuat kendaraan berjalan. Tiba-tiba kuingin turun dan mengamati kejadian ini, apakah bangsa ini lebih peka akan nasib negerinya. Aku semakin mendekat ke tempat kerumunan. Kuterkejut karena yang berteriak ialah para petani, ibu-ibu, anak-anak, dan para buruh. Polisi pun banyak yang berjaga-jaga, karena demonstran jauh lebih besar dari demo sebelumnya. Masing-masing demonstran membawa spanduk. Di tengah kerumunan spanduk berukuran besar dibentangkan, bertuliskan tiga tuntutan….


TURUNKAN HARGA PUPUK

TURUNKAN HARGA BBM

TURUNKAN PRESIDEN





















Selasa, 12 Februari 2008

Berdiri Tegak (Norief Warisman)

Apa yang akan anda lakukan bila anda tergulai lemah tak berdaya?

Apa yang akan anda lakukan bila anda sedang senang?

Apa yang akan anda lakukan jika anda sedang mengalami kegelisahan?

Jawaban atas semua pertanyaan di atas dapat dijawab dengan cerminan anda sendiri. maksudnya dari ketiga pertanyaan tersebut, hanya anda yang bisa menjawabnya, bukan orang lain. meskipun anda ialah seorang manusia yang biasa digembar-gemborkan sebagai makhluk sosial yang tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain. tetapi ada saat di mana sebagai seorang manusia melepaskan jabatannya sebagai makhluk sosial. dia harus berdiri tegak, melihat lurus ke depan. bisakah hal itu dilakukan.

ketika seseorang berada diambang kematian, apa yang dia pikirkan. masa depan, perempuan, harta, surga, neraka, atau Tuhan-Nya? belum ada kesejajaran pendapat mengenai hal tersebut. tetapi jika hal ini dikaji berdasarkan ciri psikologi manusia maka tentu dia akan meratapi kejadian semasa hidupnya. kejadian apakah itu? semua kejadian yang dimaksud ialah, kejadian di mana saat dia menjadi seorang manusia yang seutuhnya dan saat dia mencoba menjadi setannya manusia. tetapi setelah telinga ini mendengar dari berbagai mulut yang ada di dunia, sepertinya orang yang berada diambang kematian akan berusaha berkata menyesal. benarkah itu?

keindahan dan keburukan akan tampil dari kepribadian yang memilikinya (manusia). dilihat dari segi estetika, manusia sesungguhnya berupa karya seni yang maha-maha-maha-maha agung. mengapa? mana ada manusia di dunia ini yang sama, paling juga mirip. ingat lho ya mirip dan sama itu beda. estetika sebagai seorang manusia tersebut akan muncul jika manusia sebagai pemiliknya dapat mengatur mana dulu yang harus ditampakkan dan mana yang ditampakkan belakangan.

sebagai akhir tulisan ini (bisakah ini disebut tulisan? ya gak mungkinlah), hitam ya hitam, putih ya putih, jika manusia berada dalam cakupan hitam usahakan munculkan putih. hitam warna suram, sedang putih warna cerah. tahu kan maksudnya??

jika punya pendapat lain, layangkan saja pendapatmu di yeye_kuruz@yahoo.com

Filosofi Senja (Oktavia Catur Handini)

Tak akan ada yang tahu makna penciptaan sebuah senja dari-Nya

bahkan oleh sang senja sendiri...

Tak ada esensi yang lebih dewasa dari sebuah senja yang teristimewa

kecuali ketika dia menemukan kembali jati dirinya yang selama beberapa bulan ini menghilang

entah...ditelan waktu ataukah sang senja sendiri yang menyembunyikan keberadaannya...



yang jelas, ketika sang senja mencoba kembali hadir, dalam hitungan waktu...

dia ingin merubah segalanya menjadi lebih baik bahkan menjadi SEMPURNA di mata-Nya

meskipun sang senja menyadari bahwa tiada kesempurnaan yang abadi melainkan kesempurnaan itu sendiri...



senja hanya ingin membahagiakan orang-orang yang dahulu, sekarang dan masa depan selalu menantikan kedatangannya, walupun untuk itu sang senja harus mencoba menahan sebuah tetesan air mata akibat kerapuhan yang pernah singgah dalam dirinya...karena bukankah kemarin, esok dan hari ini ialah sama saja???



berubah, kemudian menjadi Dewasa dan tegar menatap kehidupan ialah impian seorang senja...

meskipun untuk itu ia harus memulai semuanya dari awal, tanpa bantuan bintang, satelit, matahari bahkan meteor yang mejadi temannya...tapi ia percaya karena segala sesuatu pasti kan ada putarannya, dan ia harus mampu berjalan sendiri tanpa siapapun!!!



Tak ada kata egois bila sang senja berkehendak, tapi yang terpenting biarkanlah ia tetap menghiasi langit dengan bantuan cahaya-Nya...









Butuh pemikiran yang mendalam untuk memahaminya dengan baik!!!