Rabu, 20 Februari 2008

Nukilan Pertemuan (Nuribi Haryanto)>>Cerpen

NUKILAN PERTEMUAN

Bukan menjadi cita-cita yang mafhum apabila zaman itu ia lebih memilih menjadi guru. Terlebih di Kuncangan, sebuah desa terpencil dengan pegunungan melingkar. Guru lebih menjadi sebuah amanah, bukan pekerjaan yang menyedot rupiah atau ringgit berlimpah. Sepenuh hidupnya telah diabdikan pada desa yang tertinggal itu. Mulai zaman komunis di mana sungai menjadi amis karena darah pembantaian sampai zaman reformasi di mana tangis masih deras mengalir.

Seperti karang ia, walau diterjang beragam ombak kemiskinan, ketiadaan, dan keterbelakangan ia tetap bertahan. Pak Somad, begitu ia memangku nama tersebut sejak lahir. Terlahir di pengungsian, dan waktu itu ia tak tahu pada siapa memanggil bapak. “Waktu itu bapak sedang perang” katanya sambil memandang lepas hamparan sawah.

“Aku yakin, minggu depan anak-anak akan meliburkan diri. Entah sampai berapa lama.” lanjutnya begitu melihat buliran padi yang mulai menguning. Diceritakan olehnya bahwa desa ini akan semakin tertinggal apabila pendidikan terus dikesampingkan. Seperti biasa, sawah Kuncangan akan ramai bila panen tiba. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orangtua bersama-sama memanen padi. Tradisi itu membuat anak-anak seakan lupa pada pendidikan dan masa depannya.

Kecut juga ia ketika sebulan lalu melepas muridnya untuk merantau ke Malaysia. Kerja dan uang telah menjadi tradisi di desa ini. Bila telah tamat SMP, remajanya akan jauh merantau. Tak banyak yang meneruskan ke SMA. Tiga atau lima tahun kemudian ia akan pulang membawa hasil kerjanya. Membangun rumah, menikah, mengasuh anak, memanen padi telah menjadi rantai kehidupan yang tiada terhenti.

“Apakah itu yang dinamakan hidup?” gerutunya sambil mengarahkan pandangannya kepadaku.

“Jangan salahkan mereka. Malaysia memang ladang uang. Begitu juga uang bisa membuat orang senang” kataku membalas pertanyaannya.

“Tapi Malaysia menjadikan kita kuli. Begitu pula uang menjadikan kita budak. Dan pendidikan kita kian terbelakang, kebodohan kita kian berkembang”.

“Tapi… walau Malaysia lebih pandai, lalu apakah bisa licik mencuri budaya bangsa kita. Apakah itu pula yang dinamakan manusia berpendidikan?”

Pagi itu perdebatanku dengan Pak Somad akhirnya terhenti oleh makan pagi yang telah tersaji. Aku bukanlah orang seperti yang biasa dihadapinya, para petani utun, gembala domba, atau anak-anak yang kadang waktu sekolahpun tak lengkap berbusana. Tapi kedatanganku malah membuatnya senang. Selama ini ia butuh orang yang diajak bertukar pikiran, tidak melulu bicara tentang Kuncangan dan tradisinya. Ia butuh perkembangan luar, karena Kuncaangan sedikit mengabarinya tentang dunia. Aku juga kian salut pada dirinya. Keteguhannya untuk bertahan di desa seperti ini menyiratkan sebuah pesan bahwa ia masih begitu bangga dan cinta pada tanah yang ia pijak. Padahal berita di media banyak yang memposisikan bahwa Indonesia jauh tertinggal dari bangsa lainnya.

“Kau tadi bilang kalau Malaysia licik, apa maksudnya?” tanyanya seakan penasaran pada perkataanku tadi.

“Di media telah beredar berita bahwa Malaysia mematenkan banyak budaya kita. Reog, lagu, angklung, sampai rendang telah diakui sebagai budaya Malaysia” kataku menjelaskan.

“Benar-benar edan” gerutunya sembari menghentikan makannya. Seperti terpukul ia sebagai pendidik yang gagal membawa negeri ini lebih baik. Ia paham bahwa kasus tersebut lebih pada anggapan bangsa lain bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah. Akan kalah bila berdebat secara terbuka. Selama ini bangsa kita hanya diajarkan saling menggerutu di belakang meja, ngrasani bila tak ada orangnya, dan akan lari bila bertemu muka.

Pak Somad lalu menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah surat bertuliskan huruf gedrik yang rapi sekali. Lalu disuruhnya aku membaca surat itu. Kubaca surat dari muridnya yang lama tak pulang dari merantau dari Malaysia. Sujatmiko, begitu muridnya menuliskan di surat itu yang terkesan sekali akan pengabdian Pak Somad dan sebenarnya ingin segera kembali ke Kuncangan. Tapi Sujatmiko tak bisa langsung kembali, karena ringgit yang diperoleh masih sedikit. Pekerjaannya sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit sungguh tak sepadan dengan pekerjaan yang ia lakukan. Pekerjaan itu pula yang memaksanya untuk tidak pulang karena takut dikatakan orang gagal.

Tiap hari ia harus bekerja mengurusi kebun yang luas. Makan hanya seadanya, tidur di gubuk tengah kebun. Bila pergi ke keramaian kota, ia selalu was-was akan razia dari polisi yang membabi buta. Pernah uang yang hendak dikirimkan ke Kuncangan diambil polisi. Diolok-olok dan dipandang rendah ialah hal biasa. Kadang ia harus mendekam beberapa hari di penjara karena urusan keimigrasian sebelum dijemput oleh majikannya. Di akhir surat, Sujatmiko mengatakan bahwa hidup di negeri sendiri lebih indah daripada bergelimangan harta di negeri orang, apalagi hidup Sujatmiko yang tak seindah dengan apa yang dibayangkan.

“Banyak pula orang yang tidak sukses merantau. Lalu mengapa masih banyak yang bercita-cita merantau? Apa Kuncangan tak mampu lagi menutupi kebutuhan hidup penduduknya?” tanyaku setelah membaca surat itu.

“Itu karena kebodohan. Kuncangan telah menyediakan tanah yang subur, air yang mengalir jernih, dan udara yang sehat. Bangsa kita sungguh beruntung memiliki semuanya” jawabnya sembari menyimpan kembali surat itu ke tempat semula.

Makin telak kegagalannya dalam mendidik desa ini. Sebagai orang yang dianggap pandai di desa, Pak Somad belum mampu menyadarkan penduduk untuk memanfaatkan segala yang diberikan Tuhan untuk bangsa ini. Kemudian ia berusaha mengalihkan cerita pada kebiasaan penduduk yang biasa menyisihkan hasil panen untuk dirinya. Terharu ia akan kepedulian dan perhatian warga yang akhirnya membuat dia terus bertahan di tempat ini.

“Sebentar lagi Bapak akan pensiun kan? Ingin tetap disini atau pindah?” tanyaku sebelum berpamitan.

“Bagiku tanah ini begitu indah untuk terus kupijak.” jawabnya.

Aku memutuskan untuk pamit dari pertemuanku kali ini. Pak Somad tetaplah seorang paman yang membuatku bangga. Paman yang lebih kuanggap sahabat untuk saling berdebat, lalu saling sesenggukan saat perpisahan. Aku bangga, Indonesia masih saja melahirkan orang jujur dan sederhana sepertinya. Begitu pula Yang Maha Kuasa masih saja melimpahkan alamnya yang elok nan subur pada bangsa ini. Cerita ini akan semakin menguatkan keinginanku menjadi seorang guru, yang bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik.

Bis yang membawaku pulang juga telah datang. Kulambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Pak Somad dan istrinya yang mengantarku sampai ke terminal. Di perjalanan kulihat segerombolan mahasiswa berdemo di sepanjang jalan kota. Dibentangkannya bermacam spanduk.

GANYANG MALAYSIA

KITA BUKAN LAGI SAUDARA,CIK…

Bis yang kutumpangi terus saja berjalan tanpa menghiraukan kejadian itu. Kejadian yang teramat penting untuk direnungkan. Sampai pada suatu tempat di mana kerumunan semakin besar hingga membuat kendaraan tak bisa melaju. Kendaraan menumpuk dan jalanan seakan tak mampu membuat kendaraan berjalan. Tiba-tiba kuingin turun dan mengamati kejadian ini, apakah bangsa ini lebih peka akan nasib negerinya. Aku semakin mendekat ke tempat kerumunan. Kuterkejut karena yang berteriak ialah para petani, ibu-ibu, anak-anak, dan para buruh. Polisi pun banyak yang berjaga-jaga, karena demonstran jauh lebih besar dari demo sebelumnya. Masing-masing demonstran membawa spanduk. Di tengah kerumunan spanduk berukuran besar dibentangkan, bertuliskan tiga tuntutan….


TURUNKAN HARGA PUPUK

TURUNKAN HARGA BBM

TURUNKAN PRESIDEN





















Tidak ada komentar: